luthienvirtuous

Clarissa tidak bisa berhenti tersenyum setelah mendapatkan pesan singkat dari Jeje. Dia sudah tidak sabar menunggu kelas ini berakhir dan pergi bersama ke pameran lukisan milik mamanya Jeje.

Alen yang duduk di sebelahnya hanya bisa mengernyit heran melihat kelakuan teman sekelasnya itu. Dosen mata kuliah Statistics Design yang sedang memberi materi di depan tak dihiraukan olehnya, hingga sebuah bolpoin mekanik mendarat dengan mulus di puncak kepala Clarissa. Clarissa mengaduh kesakitan seraya mengusap puncak kepalanya yang sebenernya nggak kenapa-napa.

“Clarissa.” ucap Miss Sonya dengan tatapan tajam siap menghujam Clarissa, “Kamu ngapain senyam senyum dari tadi? Udah merasa bisa jadi nggak perlu fokus sama materi yang saya jelasin?” tuduh Miss Sonya.

Kini semua penghuni kelas memusatkan pandangannya bergantian ke arah Miss Sonya yang sedang marah dan Clarissa yang diam dengan muka cengo dan bahasa tubuh yang sedikit kikuk.

“Maaf miss. Saya nggak bermaksud begitu.”

“Keluar.”

“Maaf?”

“Silahkan keluar dari kelas saya.”

Bukannya merasa bersalah, Clarissa dengan senang hati melangkah keluar kelas diikuti senyuman mengembang di wajahnya. Beberapa teman kelasnya menahan tawa melihat wajah Miss Sonya yang merah padam sementara Clarissa dengan santainya keluar kelas tanpa mau menoleh ke belakang lagi. Alen dan Safira ikut geleng-geleng kepala melihat tingkah Clarissa.

Tujuannya kali ini adalah warmindo dekat perempatan kampus. Bodo amat mau dicap aneh, siang bolong begini main ke warmindo. Yang ada di pikiran Clarissa saat ini hanya indomie rebus dengan kornet dan secangkir good day coolin yang pasti akan mengenyangkan perutnya.

——

Setelah memesan makanan, Clarissa memilih tempat duduk di pojok dekat segerombolan mahasiswa lain yang juga ingin menikmati makanan di tempat ini.

Belum ada lima menit dia duduk, telinganya merasa terganggu dengan pembahasan orang-orang di sebelahnya ini.

”Lo tau Jeffrey anak arsi itu?” ucap seorang cewek berambut blonde dengan bandana hitam di kepalanya.

Cowok berkaos hitam dengan sablonan muka Ariana Grande menyahut, ”Yang anaknya Gloria tukang lukis?”

”Anjing tukang lukis. Hahaha.”

”Denger-denger dia punya adik lho.”

”Penting banget anjing ngomongin ginian doang?” sindir cowok gemuk yang kelihatannya tidak pembahasan ini semakin panjang.

”Aduh asal lo tau adiknya ini bisu, makanya keluarga mereka nggak mau publik tau karo mereka punya anak dua. Takut banget ya reputasinya jadi jelek.”

”Serius lo kalo adiknya bisu? Gue juga bakal malu lah kalo punya keluarga yang cacat hahahaha.”

”Serius lah hahaha kaya tapi bisu buat apa hidup?”

Clarissa yang mendengarnya muak, selesai menyantap makanannya dengan penuh emosi dia mengambil cangkir kopi miliknya yang belum disentuh sama sekali, lalu melangkah mendekati meja tukang ghibah tadi. Dengan sengaja Clarissa berjalan terhuyung hingga segelas kopi miliknya tumpah tepat mengenai baju cewek blonde yang memulai perghibahan tadi.

“Aduh maaf ya, gak sengaja.”

Cewek blonde tadi bangkit dari kursinya dan menatap marah pada Clarissa.

“Maksud lo apaan?”

“Gue gak sengaja. Kan gue juga udah minta maaf.”

“Anjing!”

Clarissa mengeluarkan beberapa lembar udang seratus ribuan dan meletakannya diatas meja.

“Buat ganti baju lo. Sekalian buat biaya cuci mulut kalian ya, soalnya kotor banget kayak sampah.”

Setelah itu Clarissa melangkah pergi diiringi tatapan kesal mereka yang masih duduk disana. Clarissa tertawa dengan keras seperti orang kerasukan setelah duduk di belakang kemudi mobilnya. Setelah puas tertawa dia mengemudikan mobilnya membelah kota Jakarta yang terlihat lengang.

Tiba – Tiba Cinta Datang – Maudy Ayunda

Clarissa duduk dengan kaku di samping Jeje yang tak kunjung menghidupkan mesin mobilnya. Dirinya nervous bukan main, tidak menyangka akan berada dalam satu mobil lagi dengan Jeje.

“Kenapa gak jalan?” tanya Clarissa memberanikan diri menatap Jeje yang balik menatapnya dengan seringai kecil sarat mengejek.

Yang dilakukan Jeje selanjutnya membuat Clarissa membeku di tempatnya. Jeje mencondongkan tubuhnya ke arah Clarissa hingga wajah mereka hanya terpaut beberapa senti saja. Clarissa reflek menutup matanya karena tidak sanggup melihat wajah Jeje sedekat ini. Jantungnya berdetak tidak karuan saat aroma wood sage dan sea salt bercampur dengan aroma maskulin yang menguar dari tubuh Jeje menyentuh indera penciumannya, Clarissa terbuai.

Mama gue mau diapain ini!!!!! teriak Clarissa dalam hati.

Jeje tidak kunjung merubah posisi mereka hingga bunyi klik di samping kursi menyadarkan Clarissa. Rupanya Clarissa lupa memasang seat belt nya.

“Ngarep gue cium ya?” goda Jeje tepat di telinga Clarissa membuat wajah Clarissa langsung memerah.

Clarissa mengerjap kecil dan refleks menutup wajahnya dengan telapak tangan saat otaknya berhasil mencerna kalau Jeje hanya berniat memasangkan seat belt bukan mau menciumnya.

Siapapun bawa gue pergi dari sini gumam Clarissa tanpa suara.

Clarissa tidak bisa berhenti tersenyum setelah mendapatkan pesan singkat dari Jeje. Dia sudah tidak sabar menunggu kelas ini berakhir dan pergi bersama ke pameran lukisan milik mamanya Jeje.

Alen yang duduk di sebelahnya hanya bisa mengernyit heran melihat kelakuan teman sekelasnya itu. Dosen mata kuliah Statistics Design yang sedang memberi materi di depan tak dihiraukan olehnya, hingga sebuah bolpoin mekanik mendarat dengan mulus di puncak kepala Clarissa. Clarissa mengaduh kesakitan seraya mengusap puncak kepalanya yang sebenernya nggak kenapa-napa.

“Clarissa.” ucap Miss Sonya dengan tatapan tajam siap menghujam Clarissa, “Kamu ngapain senyam senyum dari tadi? Udah merasa bisa jadi nggak perlu fokus sama materi yang saya jelasin?” tuduh Miss Sonya.

Kini semua penghuni kelas memusatkan pandangannya bergantian ke arah Miss Sonya yang sedang marah dan Clarissa yang diam dengan muka cengo dan bahasa tubuh yang sedikit kikuk.

“Maaf miss. Saya nggak bermaksud begitu.”

“Keluar.”

“Maaf?”

“Silahkan keluar dari kelas saya.”

Bukannya merasa bersalah, Clarissa dengan senang hati melangkah keluar kelas diikuti senyuman mengembang di wajahnya. Beberapa teman kelasnya menahan tawa melihat wajah Miss Sonya yang merah padam sementara Clarissa dengan santainya keluar kelas tanpa mau menoleh ke belakang lagi. Alen dan Safira ikut geleng-geleng kepala melihat tingkah Clarissa.

Tujuannya kali ini adalah warmindo dekat perempatan kampus. Bodo amat mau dicap aneh, siang bolong begini main ke warmindo. Yang ada di pikiran Clarissa saat ini hanya indomie rebus dengan kornet dan secangkir good day coolin yang pasti akan mengenyangkan perutnya.

——

Setelah memesan makanan, Clarissa memilih tempat duduk di pojok dekat segerombolan mahasiswa lain yang juga ingin menikmati makanan di tempat ini.

Belum ada lima menit dia duduk, telinganya merasa terganggu dengan pembahasan orang-orang di sebelahnya ini.

”Lo tau Jeffrey anak arsi itu?” ucap seorang cewek berambut blonde dengan bandana hitam di kepalanya.

Cowok berkaos hitam dengan sablonan muka Ariana Grande menyahut, ”Yang anaknya Gloria tukang lukis?”

”Anjing tukang lukis. Hahaha.”

”Denger-denger dia punya adik lho.”

”Penting banget anjing ngomongin ginian doang?” sindir cowok gemuk yang kelihatannya tidak pembahasan ini semakin panjang.

”Aduh asal lo tau adiknya ini bisu, makanya keluarga mereka nggak mau publik tau karo mereka punya anak dua. Takut banget ya reputasinya jadi jelek.”

”Serius lo kalo adiknya bisu? Gue juga bakal malu lah kalo punya keluarga yang cacat hahahaha.”

”Serius lah hahaha kaya tapi bisu buat apa hidup?”

Clarissa yang mendengarnya muak, selesai menyantap makanannya dengan penuh emosi dia mengambil cangkir kopi miliknya yang belum disentuh sama sekali, lalu melangkah mendekati meja tukang ghibah tadi. Dengan sengaja Clarissa berjalan terhuyung hingga segelas kopi miliknya tumpah tepat mengenai baju cewek blonde yang memulai perghibahan tadi.

“Aduh maaf ya, gak sengaja.”

Cewek blonde tadi bangkit dari kursinya dan menatap marah pada Clarissa.

“Maksud lo apaan?”

“Gue gak sengaja. Kan gue juga udah minta maaf.”

“Anjing!”

Clarissa mengeluarkan beberapa lembar udang seratus ribuan dan meletakannya diatas meja.

“Buat ganti baju lo. Sekalian buat biaya cuci mulut kalian ya, soalnya kotor banget kayak sampah.”

Setelah itu Clarissa melangkah pergi diiringi tatapan kesal mereka yang masih duduk disana. Clarissa tertawa dengan keras seperti orang kerasukan setelah duduk di belakang kemudi mobilnya. Setelah puas tertawa dia mengemudikan mobilnya membelah kota Jakarta yang terlihat lengang.

Semuanya emang nggak pernah sama lagi sejak Ailee lahir. Mama selalu pengin punya anak cewek, karena mama sempet ada sakit di rahimnya jadi beliau kesulitan buat punya anak lagi. Tapi keajaiban dateng lima tahun lalu. Mama iseng cek ke dokter karena udah seminggu lebih mual-mual terus, dan bener aja ternyata mama hamil. Mama sama papa bersyukur banget waktu itu, gue juga seneng sih bakal punya adek karena kebiasaan jadi anak tunggal rasanya nggak enak. Apa-apa sendirian.

Tuhan udah ngasih yang terbaik buat keluarga gue tapi mama nggak mau nerima. Mama pelukis terkenal yang selalu jaga imagenya. Berita kelahiran Ailee gak pernah ada, bahkan mereka kira mama keguguran. Padahal Ailee lahir, ada di dunia ini, ada di keluarga gue dengan keadaan sempurna. Mama tetaplah mama. Dia malu punya anak yang gak bisa bicara, dengan begitu Ailee hidup di dunia ini tanpa sosok mamanya. Setetes aja air asi mama nggak pernah mampir di tubuh Ailee. Gue sakit hati, sebagai kakak nggak bisa ngapa-ngapain selain liat Ailee nangis tiap malem karena haus minta susu sedangkan mamanya milih tutup mata dan nggak peduli. Biarpun begitu gue tetap sayang keduanya mungkin suatu saat nanti mama bakal sadar kalau hadirnya Ailee adalah berkah buat kita semua.

Kalo tentang gue? Besok aja kali ya kapan kapan hehe.

Beberapa orang heran kenapa gue milih buat masuk jurusan fashion design padahal kedua orang tua gue semuanya dokter. Simpel sih, gue gak mau jadi kayak mereka, dalam artian positif ya. Selain karena gue emang suka gambar ada satu impian yang pengen gue wujudin di tahun terakhir gue kuliah nanti. Mimpinya apaan? Rahasia dong kan masih dua tahun lagi hehe.

Gue jadi anak tunggal kesepian nggak sih? Jawabannya adalah nggak, walaupun orang tua gue semuanya pada sibuk di rumah sakit mereka selalu luangin waktunya buat gue. Selalu ada momen pergi belanja bareng mama atau sekedar nganterin papa beli aquarium karena ikan gupinya beranak terus.

Tahun terakhir di sekolah, ini pertama kalinya gue ketemu sama Karin. Waktu itu orang tua gue ada workshop di luar kota dan gue di rumah sendirian selama tiga hari. Karena bosen banget gue mutusin buat pergi nonton film marvel di bioskop deket sekolahnya Karin. Sial banget hari itu dompet gue ketinggalan di rumah! Untung ada Karin yang mau bantuin gue, kalau nggak udah pasti bakal malu banget sih ke bioskop nggak bawa duit? Nah sejak hari itu gue temenan sama Karin, walaupun nggak deket deket banget tapi gue selalu berbagi cerita ke Karin.

Jeffrey yang sedang sibuk mengurusi urusan kampusnya yang belum juga beres harus dikejutkan dengan nomor asing yang tiba-tiba mengirimkan pesan kepadanya.

Dia lupa sudah meninggalkan Ailee yang sedang terapi wicara di rumah sakit. Ia meremas rambutnya kasar, merasa gagal menjadi kakak karena telah lalai meninggalkan Ailee sendirian.

Dengan tergesa-gesa Jeffrey mencari keberadaan taman anggrek, lokasi dimana Ailee dan sang penolong adiknya berada. Sesekali ia mengucap maaf saat menyenggol pengunjung atau perawat yang berlalu lalang karena sudah terlalu khawatir karena tak kunjung menemukan taman itu.

Jeffrey bertanya pada tukang bersih-bersih disana dan bernapas lega saat menemukan Ailee yang sedang duduk anteng sambil memakan cokelat disamping cewek cantik yang tidak pernah Jeffrey sangka mereka bakal bertemu di tempat ini.

“Ailee...”

Ailee yang mendengar namanya disebut sontak menoleh dan matanya seketika berbinar menemukan kakaknya berdiri disana. Clarissa ikut menoleh dan terkejut bukan main.

Jeffrey Megantala berdiri disana dengan wajah yang kacau dan rambut berantakan. Jeffrey diam di tempatnya menunggu Clarissa bangkit dari kursi taman itu.

“Oh nama kamu Ailee ya, Ailee tunggu sini bentar kakak mau ngobrol sama kakak kamu dulu, bentarrr aja oke?”

Ailee menganggukan kepalanya beberapa kali dan mengacungkan jempol tangan. Clarissa tersenyum gemas melihat Ailee.

“Je.”

“Cla.”

“Duduk dulu yuk disana.” ajak Clarissa dan memimpin jalan menuju kursi lain yang tak jauh dari Ailee duduk.

“Gue... gue ninggalin Ailee.”

“Iya lo ninggalin Ailee buat ke rumah Karin kan?”

Jeffrey mengernyit heran namun tidak kentara. “Maksud lo?”

“Hadeh, gini ya Je. Gue gak tau hubungan lo sama Karin tuh apaan tapi tadi jelas-jelas gue liat motor lo di depan rumah Karin. Lo pasti kesana kan buat rayain ultah Karin? Gue gak habis pikir deh, adek lo disini kesasar sendirian, dia ketakutan sampe nangis di tangga darurat sementara kakaknya malah enak-enakan main ke tempat cewenya. Hati nurani lo dimana sih Je?”

“Udah?”

“APA?”

“Udah yang ngejudge gue?”

“Gue ngomongin fakta!” ucap Clarissa tidak terima.

“Pertama, Karin cuma temen gue. Kedua, gue gak ke rumah Karin. Ketiga, gue ngaku kalo gue salah udah ninggalin Ailee sendirian disini. Gue minta maaf.”

“Minta maaf sama Ailee.”

“Gak usah diminta juga bakal gue lakuin.”

“Dan... Jangan bohong sama Ailee, lo bisa bohongin gue dengan bilang gak pergi ke rumah Karin padahal gue liat sendiri motor lo ada disana dan yang di ig story Karin itu lo kan?”

“Lo cerewet.” kata Jeffrey sambil berlalu meninggalkan Clarissa yang masih ngomel di tempatnya.

“Je!”

Clarissa duduk diam di dalam mobilnya yang sudah terparkir rapi di pelataran Rumah Sakit Dr. Soetomo tempat papa dan mamanya bekerja.

Pikirannya kembali melayang pada kejadian tadi saat dirinya menemukan motor vespa hitam milik Jeje terparkir di depan rumah Karin. Berlanjut melihat instagram story Karin yang diyakini Clarissa kalau orang didalam foto itu adalah Jeje—gebetan yang lagi dia kejar-kejar.

Clarissa merasa jengah, seharusnya ia tidak begini. Bagaimana kalau memang sebenarnya Karin dan Jeje memiliki hubungan khusus? Karin sengaja membiarkan Clarissa mendekati Jeje dengan dalih agar Clarissa tidak sakit hati saat mengetahui semuanya. Tidak tau, Clarissa pusing.

Setelah puas berkutat dengan pikirannya sendiri Clarissa melangkahkan kakinya keluar mobil, dan berjalan menyusuri halaman rumah sakit. Ia akan menemui papanya terlebih dahulu lalu pulang bersama mamanya.

Lift yang biasa dipakai pengunjung sepertinya sedang ramai di jam bezuk seperti ini, hingga beberapa orang rela berkerumun mengantre lift kosong. Clarissa enggan ikut mengantre disana dan memutuskan naik lewat tangga darurat.

Di ujung tangga menuju lantai tiga Clarissa dikejutkan oleh sosok anak kecil yang sedang menangis tanpa suara. Bajunya dipenuhi debu dan beberapa kotoran seperti tanah basah. Wajahnya memerah dan terlihat sekali sedang kelelahan karena mungkin terlalu lama menangis. Clarissa tidak tega dan langsung mendekati bocah kecil itu.

“Hallo adek kecil, kamu kenapa nangis?” sapa Clarissa ramah dan berusaha memegang pundak anak kecil itu dengan lembut.

Anak kecil yang cantik itu berjalan tertatih menjauhi Clarissa dengan wajah takut dan tangan yang gemetaran. Dia takut.

“Jangan takut ya, kakak bukan orang jahat kok. Sini yuk bersihin badan kamu dulu, mau ya?” tawar Clarissa disertai senyuman yang meyakinkan supaya anak kecil itu mau ikut bersamanya.

Anak kecil yang kira-kira berumur 4 tahunan itu menatap mata Clarissa seolah mencari kebenaran, melihat senyum Clarissa yang tulus dia mau mendekatkan tubuhnya ke arah Clarissa—tidak lagi menghindar seperti tadi.

Clarissa membawa anak kecil itu duduk di kursi taman dan mengagalkan rencananya bertemu sang papa. Dengan telaten ia membersihkan kotoran di baju dan badan anak kecil tersebut. Setelah memberinya minum dan makanan serta memastikan anak itu sudah mendingan, Clarissa mencoba berinteraksi dengan si anak kecil.

“Kita belum kenalan kan? Kenalin nama kakak Clarissa, kalo nama kamu siapa cantik?”

Anak kecil itu bergumam kecil namun tidak mengeluarkan suara sama sekali. Tangannya membentuk isyarat-isyarat yang tak Clarissa pahami.

Seketika Clarissa meneteskan air matanya, anak kecil ini ternyata tidak bisa berbicara. Untung saja tadi dia menemukan anak ini di tangga darurat, kalau tidak Clarissa tidak tau apa yang akan terjadi kedepannya, anak ini bahkan tidak bisa teriak minta tolong kalau-kalau ada orang yang mau berbuat jahat.

Tangan kecil itu menyapu air mata yang menetes di pipi Clarissa lalu tertawa kecil, tanpa suara. Tangan kanannya mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah gantungan kecil berbentuk botol kaca yang berisi kertas di dalamnya lalu menyerahkan benda itu pada Clarissa.

“Ini apa?”

Clarissa menerima benda itu lalu membuka gulungan kertas yang ada di dalamnya, sebuah nomor telepon dan tulisan ‘Kakak’ tertera disana. Clarissa paham, mungkin anak kecil ini meminta Clarissa untuk membantu menghubungi kakaknya.

freak

Clarissa menatap nanar es krim di tangannya, gara-gara makanan satu ini dia jadi nggak bisa pulang ke rumah.

Dengan kesal Clarissa mencoba menghubungi mamanya, barangkali mamanya belum pergi terlalu jauh dari tempat ini.

“Kenapa gak diangkat sih mamaaaa ah.”

Bangku di teras alfamart yang tadinya kosong dan mau dipakai Clarissa buat tempat duduk mendadak ada penghuninya membuat Clarissa tambah kesal. Dia memutuskan untuk duduk di sembarang motor yang terparkir rapi disana.

Vespa matic bewarna hitam doff yang terlihat sangat terawat dengan sticker kecil bertuliskan The1975 di bagian depannya menjadi pilihan Clarissa buat duduk sebentar.

“Mama!”

”Jangan teriak-teriak kenapa sih, Clar?”

“Mama kok ninggalin aku maksudnya apaan?”

”Ohhh mama kebelet pipis jadi pulang duluan deh”

“Astaga, terus aku pulangnya gimana? Gak bawa duit.”

”Hadeh kayak gaada ojek online aja sih. Udah ya mama mau istirahat kamu pulang naik ojol aja ntar bayar di rumah. Byee.”

“Maaaaa. Halo? Ma? Buset dimatiin beneran.”

Tanpa disadari, Clarissa melupakan es krimnya yang sudah mulai mencair dan mengotori jok motor yang sedang didudukinya.

“Minggir.” ucap seorang cowok berkaus hitam polos di samping Clarissa.

“Apaan sih gak usah gangguin gue dulu napa.” jawab Clarissa tanpa mau menoleh ke sampingnya, karena dirinya sedang fokus menentukan titik lokasi penjemputan di aplikasi ojek online.

Cowok itu berdecak kesal lalu menarik paksa lengan Clarissa supaya mau bangkit dari motornya.

Clarissa menepis kasar tangan cowok itu dan sudah bersiap mau marah-marah. Tapi waktu matanya menemukan sosok yang menarik lengannya itu cowok yang ganteng pake banget—soalnya ganteng aja gak cukup buat gambarin sosoknya— dia gak jadi marah.

“Ya tuhan. Ganteng banget.” ceplos Clarissa tanpa sadar, membuat cowok di depannya ini mengernyit heran.

Cewek freak batin Jeffrey, si pemilik motor yang didudukin Clarissa.

“Lo ngapain duduk di motor gue?”

“Oh ini motor lo?”

“Pikir sendiri.”

“Hehehe. Galak banget sih ntar gantengnya ilang lohh.”

“Minggir.”

Clarissa menggeleng, “Numpang bentar sampe ojolnya dateng ya. Gue gak mau berdiri kayak orang ilang.”

“Duduk di motor yang lain, jangan motor gue.”

“Ngga mau. Maunya duduk di motor lo.”

“Motor lain kan sama aja.”

“Beda, motor lain yang punya ngga seganteng elo.”

Jeffrey lelah, mau marah, tapi gak bisa.

“Ya Tuhan. Gue ada urusan, minggir gak?”

“Nggaaaa.” kata Clarissa enteng sambil terus memperhatikan wajah Jeffrey dengan antusias membuat Jeffrey menghela napas pasrah.

“Ngga usah liat-liat.”

“Bebas dong mata gue ini.”

“Ojolnya kapan dateng?”

“Tiga menit lagi.”

“Syukur deh.”

“Oh ya nama lo siapa? Firasat gue ngomong kalo kita bakal ketemu lagi soalnya.”

“Kepo.” jawaban Jeffrey membuat Clarissa cemberut.

Jeffrey mengalihkan pandangannya dari Clarissa, soalnya Clarissa keliatan sedikit imut—iya sedikit aja takut orangnya geer— matanya beralih pada jok motornya dan membelalak kaget waktu menemukan tumpahan es krim yang lumayan banyak disana.

Clarissa mengikuti arah pandang Jeffrey dan ikut kaget. Raut muka Jeffrey berubah tajam siap mau marah membuat Clarissa takut. Notifikasi ojek online yang menandakan driver sudah sampai lokasi menyelamatkan Clarissa kali ini, dirinya langsung bersiap untuk lari dari kemarahan Jeffrey.

“Woe cewek aneh, jangan kabur!”

“Nama gue Clarissa!!! Byeee kabur dulu!!!”

hug

Alissa keluar dari bilik toilet sekolah dengan tangan kiri membawa tissue basah untuk dibuang. Rencananya habis ini Alissa mau ke kantin karena perutnya sudah meronta minta diisi sedari tadi.

Saat sedang mencuci tangannya di wastafel, dari pantulan cermin muncul sosok cewek berseragam seperti Alissa yang membuat dirinya kaget bukan main.

“Eh, sorry. Ngagetin ya?” ucap cewek tadi.

Alissa yang masih agak shock hanya mengangguk cepat sambil mengeringkan tangannya.

“Hehehe. Lo Alissa ya?”

“Iya. Kenapa?”

Cewek tadi manggut-manggut sambil mengulurkan tangan kanannya. “Kenalin, gue Kanaya. Mantan pacarnya Devon.”

“Ah okay???” ucap Alissa tanpa mau bersalaman dengan Kanaya.

Kanaya tertawa kecil, menarik kembali tangan kanannya yang sempat terulur “Jutek banget ternyata.”

“Kalo gak penting gue permisi dulu ya.”

“Selera Devon oke juga.” ucap Kanaya saat Alissa sudah pergi meninggalkan toilet.


Devon dan teman-temannya mengisi waktu istirahat dengan bermain basket di lapangan utama. Kemeja putihnya sudah terlepas dan dibiarkan tergeletak di bangku pinggir lapangan. Sekarang hanya tersisa kaos hitam polos yang melekat dengan pas di tubuhnya.

“Woe lempar ke sini, Von!!” teriak Haikal saat melihat Devon mau melempar bolanya ke arah Fabio.

Devon tersenyum mengejek “Ogah wleee.”

Karena nggak fokus dengan permainan bolanya, Devon tergelincir hingga jatuh, sementara bola basket yang ada di tangannya terlempar jauh keluar lapangan mengenai kepala seseorang yang sedang lewat dengan sekotak susu di tangannya.

Devon dan Alissa—seseorang yang kepalanya kena timpuk bola Devon—mengaduh sakit secara bersamaan. Siku Devon lecet hingga sedikit berdarah sementara Alissa kesal bukan main, bukan karena kepalanya sakit tapi karena susu kotaknya harus tumpah di lantai.

Teman-teman Devon mendekati Devon yang sudah bangkit dari posisi jatuhnya.

“Buset lo gapapa?”

“Lecet dikit doang. Itu bola gue kemana?”

“Kena kepala Alissa.”

Muka Devon langsung cengo. “Hah? Mana anaknya?”

“Tuh lagi bersihin tumpahan susunya.”

Devon segera pergi menuju tempat Alissa yang sedang membereskan tumpahan susu dengan tissue.

“Als lo gapapa?”

Alissa mendongak menatap Devon dengan datar dan nggak bicara apapun. Karena melihat Alissa yang diam saja Devon refleks meraih tubuh Alissa dan memeluknya, tubuh Alissa yang sedang tidak siap memudahkan Devon buat memeluk Alissa. Tangan kanannya kini mengelus kepala Alissa dengan pelan.

“Mana yang sakit?” tanya Devon masih memeluk Alissa di pinggir lapangan. Tatapannya terlihat makin khawatir saat yang diajak bicara belum juga mau menjawab pertanyaannya. “Kok diem aja sih, Als. Maafin gue ya Als tadi gak sengaja sumpah.”

Alissa berusaha melepaskan dirinya dari pelukan Devon, walaupun nggak bisa bohong kalau pelukan Devon bikin dia nyaman makanya dia diem aja dari tadi.

“Aku gak kenapa-napa Devon.”

“Serius? Nggak kerasa mau pingsan?”

“Nggak lah lebay banget. Tapi susunya tumpah, kamu tanggung jawab.”

Devon bernapas lega, “Ntar gue beliin sekerdus.” canda Devon, tangan kanannya yang lecet terangkat mengacak pelan rambut Alissa.

“Tangan kamu lecet.”

“Ah ini mah lecet dikit ntar juga sembuh sendiri.”

“Itu keluar darahnya Devon, ayo ke UKS aku obatin.”

“Kalo lo yang ngobatin sih mana bisa gue nolak?” kata Devon sambil tertawa sehingga kedua matanya membentuk bulan sabit yang lucu.

“Gemes.” ucap Alissa pelan. Keceplosan.

“Eh? Lo ngomong apa Als?”

Alissa gelagapan sendiri takut Devon mendengar ucapannya tadi.

“Ngga ngomong apa-apa kok. Buruan ke UKS!”

sakit

Samudera terbaring lemah di atas tempat tidurnya. Dari semalam suhu tubuhnya cukup tinggi, mau dibawa ke dokter sama Jordi ngga mau. Obatnya cuman ketemu Vanya.

Tenggorokan Samudera rasanya kering banget tapi badannya gak kuat buat bangun. Saat tangannya sedang berusaha meraih air minum di atas nakas pintu kamarnya terbuka menampilkan sosok Vanya yang datang dengan tas tangan berisi macbook miliknya.

“Aduh gak usah dipaksain kalo gak kuat. Sini aku ambilin.” ucap Vanya setelah meletakan tasnya di atas meja belajar dan segera meraih segelas air minum untuk Samudera.

Vanya membantu Samudera untuk duduk bersandar di kepala tempat tidur, biar gampang kalo mau minum.

“Nih minum dulu.”

“Makasih.”

Tangan Vanya mengecek dahi Samudera dan berdecak, panas banget.

“Kamu panas banget. Ke dokter aja ya?”

“Ngga mau.”

“Keras kepala.”

“Ngga mau ke dokter.”

“Iya tapi makan dulu aku bawain bubur.”

Samudera kembali menggeleng seperti anak kecil. Sebenernya Samudera agak takut dengan rumah sakit, takut disuntik sama takut kalo dapet obat yang ukurannya gede-gede.

“Terus maunya apa?”

“Mau peluk aja.”

“Modus ih. Makan dulu yaaaa habis itu minum obat.”

“Obatnya seberapa liat dulu.”

Vanya memperlihatkan obat yang dia dapat dari om Jordi. “Cuma segini.”

“Itu gede. Gak bisa minumnya.”

“Yaampun kamu tu anak teknik. Udah gede, minum obat aja gak bisa? Ya Tuhan.”

Samudera memasang wajah memelas biar Vanya bisa meloloskan dirinya buat gak minum obat.

“Gak ada ya sok sokan melas gitu. Kamu makan dan minum obat atau aku pulang?”

“Makan.”

“Yaudah sini deketan.”

“Suapin.”

“MANJA!”

Seharian Vanya menghabiskan waktunya buat nemenin Samudera yang lagi sakit. Vanya duduk di tepi tempat tidur sambil ngerjain tugas kuliahnya sementara lengannya gak lepas dari pelukan Samudera. Jujur bikin pegel, tapi lagi sakit jadi dimaklumin aja.

Samudera tersenyum kecil, jadi pengen sakit terus kalo kayak gini caranya.