met ailee

Clarissa duduk diam di dalam mobilnya yang sudah terparkir rapi di pelataran Rumah Sakit Dr. Soetomo tempat papa dan mamanya bekerja.

Pikirannya kembali melayang pada kejadian tadi saat dirinya menemukan motor vespa hitam milik Jeje terparkir di depan rumah Karin. Berlanjut melihat instagram story Karin yang diyakini Clarissa kalau orang didalam foto itu adalah Jeje—gebetan yang lagi dia kejar-kejar.

Clarissa merasa jengah, seharusnya ia tidak begini. Bagaimana kalau memang sebenarnya Karin dan Jeje memiliki hubungan khusus? Karin sengaja membiarkan Clarissa mendekati Jeje dengan dalih agar Clarissa tidak sakit hati saat mengetahui semuanya. Tidak tau, Clarissa pusing.

Setelah puas berkutat dengan pikirannya sendiri Clarissa melangkahkan kakinya keluar mobil, dan berjalan menyusuri halaman rumah sakit. Ia akan menemui papanya terlebih dahulu lalu pulang bersama mamanya.

Lift yang biasa dipakai pengunjung sepertinya sedang ramai di jam bezuk seperti ini, hingga beberapa orang rela berkerumun mengantre lift kosong. Clarissa enggan ikut mengantre disana dan memutuskan naik lewat tangga darurat.

Di ujung tangga menuju lantai tiga Clarissa dikejutkan oleh sosok anak kecil yang sedang menangis tanpa suara. Bajunya dipenuhi debu dan beberapa kotoran seperti tanah basah. Wajahnya memerah dan terlihat sekali sedang kelelahan karena mungkin terlalu lama menangis. Clarissa tidak tega dan langsung mendekati bocah kecil itu.

“Hallo adek kecil, kamu kenapa nangis?” sapa Clarissa ramah dan berusaha memegang pundak anak kecil itu dengan lembut.

Anak kecil yang cantik itu berjalan tertatih menjauhi Clarissa dengan wajah takut dan tangan yang gemetaran. Dia takut.

“Jangan takut ya, kakak bukan orang jahat kok. Sini yuk bersihin badan kamu dulu, mau ya?” tawar Clarissa disertai senyuman yang meyakinkan supaya anak kecil itu mau ikut bersamanya.

Anak kecil yang kira-kira berumur 4 tahunan itu menatap mata Clarissa seolah mencari kebenaran, melihat senyum Clarissa yang tulus dia mau mendekatkan tubuhnya ke arah Clarissa—tidak lagi menghindar seperti tadi.

Clarissa membawa anak kecil itu duduk di kursi taman dan mengagalkan rencananya bertemu sang papa. Dengan telaten ia membersihkan kotoran di baju dan badan anak kecil tersebut. Setelah memberinya minum dan makanan serta memastikan anak itu sudah mendingan, Clarissa mencoba berinteraksi dengan si anak kecil.

“Kita belum kenalan kan? Kenalin nama kakak Clarissa, kalo nama kamu siapa cantik?”

Anak kecil itu bergumam kecil namun tidak mengeluarkan suara sama sekali. Tangannya membentuk isyarat-isyarat yang tak Clarissa pahami.

Seketika Clarissa meneteskan air matanya, anak kecil ini ternyata tidak bisa berbicara. Untung saja tadi dia menemukan anak ini di tangga darurat, kalau tidak Clarissa tidak tau apa yang akan terjadi kedepannya, anak ini bahkan tidak bisa teriak minta tolong kalau-kalau ada orang yang mau berbuat jahat.

Tangan kecil itu menyapu air mata yang menetes di pipi Clarissa lalu tertawa kecil, tanpa suara. Tangan kanannya mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah gantungan kecil berbentuk botol kaca yang berisi kertas di dalamnya lalu menyerahkan benda itu pada Clarissa.

“Ini apa?”

Clarissa menerima benda itu lalu membuka gulungan kertas yang ada di dalamnya, sebuah nomor telepon dan tulisan ‘Kakak’ tertera disana. Clarissa paham, mungkin anak kecil ini meminta Clarissa untuk membantu menghubungi kakaknya.